Kenaikan biaya hidup bukan lagi sekadar isu lokal, tetapi telah menjadi tantangan global yang dirasakan masyarakat di berbagai belahan dunia. Berdasarkan laporan Statista Consumer Insights yang dirilis Februari 2025, responden dari negara-negara berbahasa Inggris (Anglophone) seperti Kanada, Australia, dan Afrika Selatan termasuk yang paling merasakan tekanan inflasi dalam kehidupan sehari-hari. Dari kebutuhan pokok hingga pengeluaran bulanan, banyak orang yang kini harus merogoh tabungan demi bertahan hidup. Namun, pola ini ternyata tidak merata di seluruh dunia—ada perbedaan signifikan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya dalam menyikapi dan merespons kenaikan biaya hidup.
Anglophone: Merasa Inflasi dan Terpaksa Gunakan Tabungan
Di negara-negara Anglophone seperti Kanada, Australia, Afrika Selatan, dan Inggris, sekitar 50 hingga 60 persen responden menyatakan bahwa mereka secara nyata merasakan kenaikan biaya hidup. Bahkan, hampir sepertiga warga Australia (29 persen) mengaku harus menggunakan tabungan untuk menutup kebutuhan harian. Di Kanada, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat, sekitar seperempat responden juga melaporkan hal serupa—menunjukkan bahwa inflasi tidak hanya terasa, tetapi telah memengaruhi keseimbangan keuangan rumah tangga secara langsung.
Inggris dan negara-negara Eropa lainnya pun tidak jauh berbeda. Di Inggris, 54 persen warga menyadari peningkatan biaya hidup, meski angka penggunaan tabungan untuk bertahan hidup sedikit lebih rendah dibanding Australia. Menariknya, meskipun inflasi dirasakan secara luas, respons masyarakat terhadap kondisi ini bervariasi tergantung pada kesiapan finansial dan strategi manajemen keuangan masing-masing.
Negara Eropa: Inflasi Terasa, Tapi Penggunaan Tabungan Lebih Terkendali
Meskipun tekanan biaya hidup juga melanda sebagian besar negara di Eropa, hanya sebagian kecil yang benar-benar menggunakan tabungan untuk menutupi kebutuhan. Di Jerman, Swiss, Austria, dan Italia, proporsi warga yang menyentuh tabungan untuk bertahan hidup hanya berada di kisaran 18 hingga 19 persen. Ini mengindikasikan bahwa masyarakat di negara-negara tersebut memiliki sistem pengelolaan keuangan yang lebih solid atau memiliki jaringan jaminan sosial yang mendukung stabilitas ekonomi individu.
Walau begitu, hampir setengah dari warga Eropa menyatakan bahwa mereka tetap merasakan peningkatan signifikan dalam pengeluaran sehari-hari. Dari bahan makanan, energi, hingga transportasi, lonjakan harga tetap menjadi kenyataan. Namun, dengan perencanaan anggaran yang ketat, sebagian besar masyarakat berhasil menghindari penggunaan simpanan mereka dalam jangka pendek—sebuah perbedaan penting dari tren yang terlihat di negara-negara Anglophone.
Asia dan Amerika Latin: Tekanan Inflasi Lebih Ringan, Tabungan Tetap Aman
Berbeda dari negara-negara Barat, tekanan inflasi di beberapa negara Asia dan Amerika Latin tampak lebih rendah. Di Meksiko dan Brasil, masing-masing 35 dan 42 persen responden menyebutkan bahwa biaya hidup mereka meningkat. Sementara itu, di Korea Selatan, Tiongkok, dan Jepang, angka ini berada di kisaran 22 hingga 36 persen. Hanya sebagian kecil dari warga di negara-negara ini yang perlu menggunakan tabungan: 8 persen di Tiongkok, 11 persen di Korea Selatan, dan 12 persen di Jepang.
India menunjukkan dinamika yang sedikit berbeda, dengan 39 persen merasa biaya hidup naik dan 22 persen yang menyatakan harus mengandalkan tabungan. Meskipun secara umum tekanan inflasi di Asia lebih ringan, data ini memperlihatkan bahwa tidak semua negara Asia berada dalam kondisi yang sama. Namun satu hal yang bisa disimpulkan: banyak negara di Asia berhasil menjaga daya tahan finansial masyarakatnya meski kondisi ekonomi global sedang tidak menentu.
Data dari Statista Consumer Insights memperlihatkan bahwa krisis biaya hidup adalah persoalan nyata yang menembus batas negara dan budaya. Namun, cara masyarakat di berbagai wilayah menghadapi tekanan ini sangat bergantung pada kondisi ekonomi lokal, kebijakan sosial, serta kebiasaan finansial.
Negara-negara seperti Australia dan Kanada mungkin paling merasakan dampaknya, sementara Eropa dan Asia menunjukkan tingkat ketahanan finansial yang relatif lebih tinggi. Apapun latarnya, penting bagi kita untuk terus memperkuat literasi keuangan dan menciptakan strategi pengelolaan ekonomi pribadi yang adaptif terhadap perubahan zaman.